KONSEP
TEORI PEMBANGUNAN PUSAT PINGGIRAN
1.
PENDAHULUAN
Pembangunan
Nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang
berkesinambungan yang meliputi
seluruh kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara.
Untuk melaksanakan tugas
mewujudkan tujuan nasional yang terdapat dalam
UUD 45, yaitu melindungi segenap
bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut
melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamean abadi,
dan keadilan sosial ( GBHN 1998
). Dengan pembangunan diharapkan seluruh
masyarakat di tanah air menikmati
tingkat kesejahteraan yang memadai. Namun
kenyataan menunjukkan bahwa
masyarakat Indonesia sangat hiterogen, berbeda
dalam segala hal. Demikian pula
tingkat ekonominya, ada yang telah berkecukupan
dan dapat menikmati hasil
pembangunan secara layak, namun tidak sedikit juga yang
masih hidup dibawah garis
kemiskinan. Hal ini berarti pembangunan selama ini
belum sepenuhnya mencapai sasaran
yang diharapkan. Perbedaan hasil
pembangunan ini diakibatkan oleh
beberapa hal, antara lain: perbedaan sumberdaya
yang dimiliki daerah yang satu
dengan yang lain, perbedaan kemampuan
2
sumberdaya manusianya, tingkat
penguasaan tehnologi yang berbeda, kebijakan
pemerintah terlalu mengutamakan
pembangunan di Pulau Jawa (Wilayah Barat ) dan
lain-lain.
Hal ini dapat disaksikan adanya
daerah-daerah yang berkembang pesat
(Wilayah Barat), dan menarik
banyak orang untuk mengadukan nasib. Daerah itu
pada umumnya merupakan kota-kota
besar yang sekaligus sebagai Ibukota Propinsi
atau Ibukota suatu Kabupaten,
karena berkedudukan sebagai pusat kekuasaan maka
ada tendensi pembangunan
terkonsentrasi di kota tersebut. Kota-kota besar seperti
Jakarta, Semarang, Surabaya,
Medan dan lain-lain tiada henti-hentinya membangun
jalan raya, perkantoran,
permukiman, tempat-tempat hiburan, pasar dan sarana
pendidikan. Untuk dapat
melaksanakan kegiatan pembangunan tersebut diperlukan
material atau bahan bangunan,
peralatan, kendaraan pengangkut dan orang untuk
melaksanakan pembangunan,
kemudian orang berbondong-bondong ke kota mengisi
lowongan kerja di berbagai sektor
pembangunan, dengan demikian Kota tumbuh
menjadi pusat
pembangunan. Sayangnya
tidak semua pendatang dapat menikmati
hasil pembangunan. Bagaimanapun
jumlah pendatang dengan kebutuhan tenaga
tidak seimbang atau kebanyakan
kemampuan pendatang yang rendah dilihat dari
segi kwalitasnya sehingga tidak
dapat memenuhi tuntutan dunia kerja. Kelompok
pendatang inilah
yang kemudia tersingkir ke pinggiran kota. Gejala pusat
pinggiran dalam pembangunan
muncul dan melahirkan beberapa pendapat dari
beberapa para ahli yang mengamati
dan memperdalam gejala ini. Hal ini perlu
dipelajari karena gejala pusat
pinggiran tidak hanya terjadi di Indonesia saja, tetapi
berlaku untuk seluruh dunia. Dari
berbagai fenomena di berbagai belahan dunia
dapat dipetik Pelajaran agar
tidak terulang hal-hal yang bersifat negatif. Apalagi
gejala pusat
pinggiran ini telah lama terjadi sehingga dapat menjadi guru terbaik
bagi pelaksanaan pembangunan di
Indonesia.
2. GEJALA PUSAT
PINGGIRAN DALAM LINTASAN SEJARAH
Konsep
pusat pinggiran dinyatakan dalam berbagai pandangan oleh ilmuwan
sosial. Salah satu gejala pusat
pinggiran telah disampaikan oleh John Friedman
(1966), Ia membagi dunia ini
menjadi dua bagian besar yaitu Pusat yang dinanis
dan pinggiran
yang statis, dan
mengusulkan 4 wilayah sebagai berikut :
1. Daerah Pusat adalah
dikonsentrasikan perekonomian metropolitan dengan
kapasitas tinggi untuk inovasi dan
perubahan. Nampak seperti jaringan hirarkhi
dari Ibukota Negara samapai
daerah terpencil. Pada tingkat dunia Eropa dan
Amerika Utara merupakan pusat
daerah pengembangan di dunia barat.
2 Daerah
Peralihan Atas adalah
berbatasan dengan pusat, cocok bagi
pengembangan dan ekploitasi
sumnerdaya. Ciri khas Daeah peralihan atas ialah
pengembangan disepanjang jalan
raya dua kota besar contoh dalam skala dunia
adalah daerah antara Rio de
Jenairo dan Sao Paulo.
3. Daerah Batas
Sumber Daya adalah
wilayah pinggiran permukiman baru,
sebagai contoh Permukiman
dilereng utara Alaska.
3
4. Daerah
Peralihan bawah adalah
daerah yang stagnasi atau menurun
kemampuannya, contohnya adalah
daerah perekonomian perdesaan dan
permukiman liar di perkotaan.
Dalam catatan sejarah abad XV
Spanyol dan Portugis memulai suatu perekonomian
dunia yang terpadu. Didorong
perkembangan dalam persenjataan dan pembangunan
kapal, Spanyol melebar
kemaharajaannya ke Amerika Tengah dan Andes didasarkan
pada penambangan logam-logam
mulia yang dikerjakan dengan tenaga paksa ( Dean
Forbes, 1991 ).
Negara Eropa lainnya yang
berlomba menjadi daerah pusat untuk waktu-waktu
selanjutnya adalah Inggris,
Perancis dan Jerman. Inggris terlihat mulai mendominasi
perdagangan di Benua Amerika pada
akhir abad ke XII. Revolusi industri membawa
perubahan pada kedudukan Inggris
dalam perekonomian dunia. Industri tekstil
menjadi primadona dan menjadi
penghasilan terbesar bagi Inggris. Oleh karena itu
Inggris berusaha mengamankan perdagangan
tekstilnya dengan membangun
Angkatan Laut yang kuat dan
mengawasi lautan dunia. Perncis menggunakan
Momentum Revolusi Sosial untuk
berusaha menjadi pusat pengembangan dunia
agar sejajar dengan negara-negara
tetangganya seperti Inggris dan Belanda. Atas
dasar kesamaan hak untuk hidup
lebih baik maka Perancis mulai merebut daerahdaerah
pinggiran milik Inggris, baik di
Afrika maupun di Asia (Vietnam, Kamboja,
Laos). Sedangkan Jerman ingin
menjadi pusat dunia berlandaskan pada politik Rasial
(Nazi) yang mersa menjadi bangsa
unggul dan berhak menindas bangsa lain, tanpa
malu-malu Jerman menganeksasi
negara tetangganya. Bersama Amerika Serikat,
Jerman muncul sebagai kekuatan
industri utama, khususnya dalam industri baja.
Tahun 1890-an disebut awal zaman imperialisme,
terjadi tiga proses yang saling
berhubungan dan yang menentukan
serta membentuk masa depan dunia bahkan
hingga abad ini.
Pertama peningkatan
kolonisasi yang cepat oleh beberapa negara, mungkin karena
permusuhan politik atau desakan
surplus modal yang mencari tempat investasi.
Inggris dan Perancis memasukkan
daerah-daerah di Pasifik, Asia Tenggara dan
Afrika kedalam koloni mereka.
Rusia memperoleh sebagian Persia. Jerman,
Italia dan Belgia merebut
bagian-bagian Afrika. Amerika Serikat menduduki
Alaska, Filipina dan sebagian
Kepulauan Pasifik. Jepang menjajah Formosa
(Taiwan) dan Belanda meluaskan
jajahannya di Hindia Belanda Timur.
Kedua adalah
terjadinya pergeseran dari modal kompetitif kearah modal monopoli.
Dalam pertengahan abad ini
perdagangan bebas cocok untuk perusahaan
kapitalis yang kompetitif dan
kolonialisme tidak begitu dibutuhkan. Tetapi
ketika Inggris kehilangan
keuntungan produktifnya dan menginginkan
keamanan sumber-sumber suplai
bahan mentahnya serta jaminan pembayaran
barang-barang eksport, maka
monopoli dan kolonialisme diperlukan kembali.
Ketida peningkatan
ekspor modal Eropa keluar negeri samapi 577 % antara tahun
1874 dan 1913. Ekpor modal ini
p[ada gilirannya memberikan keuntungan besar
kepada Inggris, Perancis dan
Jerman dan negara-negara lain (Dean Forbes,
1991).
3. TEORI PUSAT
PINGGIRAN
A. Myrdal,
Hirscman
Hirscman
adalah seorang penganjur teori pertumbuhan tidak seimbang. Secara
geografis, pertumbuhan ekonomi
pasti tidak seimbang. Dalam proses pertumbuhan
tidak seimbang selalu dapat
dilihat bahwa kemajuan disuatu tempat (titik)
menimbulkan tekanan-tekanan,
ketegangan-ketegangan, dan dorongan-dorongan
kearah perkembangan pada
tempat-tempat (titik-titik) berikutnya. Hirscman (1958),
menyadari bahwa fungsi-fungsi
ekonomi berbeda tingkat intensitasnya pada tempat
yang berbeda. Pertumbuhan ekonomi
diutamakan pada titik originalnya sebelum
disebarkan ke berbagai tempat
lainnya. Ia menggunakan istilah Titik Pertumbuhan
(Growing Point) atau Pusat
Pertumbuhan (Growing Centre).
Di sutau negara terdapat beberapa
titik pertumbuhan, dimana industri
berkelompok ditempat itu, karena
diperoleh beberapa manfaat dalam bentuk
penghematan-penghematan dan
kemudahan-kemudahan. Kesempatan investasi,
lapangan kerja dan upah buruh
relatif tinggi lebih banyak terdapat di pusat- pusat
pertumbuhan dari pada daerah
belakang. Antara pusat dan daerah belakang terdapat
ketergantungan dalam suplai
barang dan tenaga kerja. Pengaruh yang paling hebat
adalah migrasi penduduk ke
kota-kota besar (urbanisasi) akan dapat mengabsorsikan
tenaga kerja yang trampil dan
pihak lain akan mengurangi pengangguran tidak
kentara di daerah belakang. Hal
ini tergantung pada tingkat koplementaritas antara
dua tempat tersebut.
Jika komplementaritas kuat akan
terjadi proses penyebaran pembangunan
kedaerah-daerah belakang (trikling
down) dan sebaliknya jika komplementaritas
lemah akan terjadi pengaruh
polarisasi (Keban, 1995). Jika pengeruh polarisasi lebih
kuat dari pengeruh penyebaran
pembangunan maka akan timbul masyarakat
dualistik, yaitu
selain memiliki ciri-ciri daerah perkotaan modern juga memiliki
daerah perdesaan
terbelakang (Hammand,1985,
Indra Catri,1993). Walaupun
terlihat suatu kecenderungan yang
suram namun Hirschman optimis dan percaya
bahwa pengaruh trikling-down akan
mengatasi pengaruh polarisasi. Misalnya bila
daerah perkotaan berspesialisasi
pada industri dan daerah perdesaan berspesialisasi
pada produksi primer, maka
meluasnya permintaan daerah perkotaan harus
mendorong perkembangan daerah
perdesaan, tetapi apa yang terjadi tidak seperti
yang diharapkan. Pada khususnya
ada kemungkinan besar bahwa elastisitas
penawaran jangka pendek di daerah
perdesaan adalah sedimikian rendah sehingga
dasar pertukaran akan berubah
merugikan daerah perkotaan. Dalam jangka panjang
penghematan-penghematan ekstrnal
dan tersedianya komplementaritas di pusat-pusat
akan menjamin penyebaran
pembangunan ke daerah-daerah disekitarnya.
Pada pihak lain, berdasarkan
konseptual yang serupa mengenai struktur titik-titik
pertumbuhan dan daerah-daerah
belakang, Myrdal (1957) menggunakan istilah
Backwash effect
dan spread effect yang artinya persis serupa dengan polarisasi dan
pengaruh trikling down. Namun
demikian, dalam penekanan pembahasan dan
kesimpulan-kesimpulan terdapat
perbedaan yang cukup besar. Analisa Myrdal
5
memberikan kesan pesimistis, ia
berpendapat bahwa polarisasi muncul lebih kuat
dari pada
penyebaran pembangunan, permintaan faktor-faktor produksi akan
menumpuk di daerah- daerah
perkotaan yang memberikan manfaat kepadanya, dan
sebaliknya di daerah perdesaan
yang tidak menguntungkan akan menipis.
Pesimisme tersebut dapat
dimaklumi karena Myrdal tidak memaklumi bahwa
timbulnya titik pertumbuhan
adalah suatu hal yang tidak terelakkan dan merupakan
syarat bagi perkembangan
selanjutnya dimana-mana. Pusat pemikiran Myrdal pada
kausasi komulatif menyebabkan ia
tidak dapat melihat dengan titik balik apabila
perkembangan kearah polarisasi di
suatu wilayah sudah berlangsung untuk beberapa
waktu. Kausasi sirkuler komulatif
selalu meghasilkan penyebaran pembangunan
yang lemah dan tidak kemerataan, atau
dapat dikatakan bahwa mobilitas akan
memperbesar
ketimpangan pendapatan dan migrasi akan memperbesar
ketimpangan
regional.
Berdasarkan pada perbedaan
pandangan diatas, maka kebijaksanaan perspektif
yang dianjurkan oleh Hirschman
dan Myrdal berbeda pula. Hirschman
menyarankan agar membentuk
lebih banyak titik-titik pertumbuhan supaya dapat
menciptakan pengaruh-pengaruh
penyebaran pembengunan yang efektif, sedangkan
Myrdal menekankan pada
langkah-langkah kebijaksanaan unmtuk melemahkan
backwash effets
dan meperkuat sread effeetc agar proses kausasi sirkuler kumulatif
mengarah keatas, dengan demikian
semakin memperkecil ketimpangan regional
( Murtomo, 1988, Indra Catri,
1993, Keban, 1995).
Gunnar Myrdal (1957) dan Aschman
(1958) dalam Keban (1995), menyerang
pengertian equilibrium dalam
teori ekonomi dan mengemukakan ide-ide dasar
tentang polarisasi pembangunan.
Menurut pandangan Myrdal, daerah-daerah inti dari
perekonomian adalah magnit
penguat dari kemajuan. Myrdal mengemukakan bahwa
setel;ah pertumbuhan dimulai pada
lokasi yang dipilih pada perekonomian bebas,
arus masuk tenaga kerja,
ketrampilan, modal dan komoditi berkembang secara
spontan untuk mendukungnya.
Tetapi arus ini meliputi efek backwash, ketidak
samaan antara daerah-daerah yang
berkembang dengan daerah-daerah lain.
Daerah-daerah yang sedang tumbuh
mempengruhi daerah-daerah lain melalui
dua kekuatan yang berlawanan ,
menurut model Myrdal disebut Effect backwash dan
efek penyebaran (Spread effect
dan backwash effect). Efek penyebaran menunjukkan
dampak yang menguntungkan dari
daerah-daerah yang makmur terhadap daerahdaerah
yang kurang makmur, hal ini
meliputi : meningkatnya permintaan komoditi
primer, investasi dan difusi ide
serta tehnologi. Dalam banyak negara-negara
terbelakang, efek penyebaran
terbatas pada daerah-daerah disekitar pusat-pusat
herarkhi perkotaan (Murtomo,
1988, Keban, 1995).
Hirschman membantah bahwa memilih
dan memusatkan aktivitasnya pada titiktitik
pertumbuhan adalah alami bagi
para pengusaha. Pembangunan lama kelamaan
tidak berimbang, pertumbuhan
daerah yang sedang berkembang membatasi kapasitas
6
pertumbuhan dimana-mana. Utara (North)
menarik tenaga trampil dan tabungan dari
selatan (south). Elastisitas
permintaan income lebih besar untuk barang-barang
buatan north, dan oleh karena itu
syarat-syarat perdagangn melawan produsen south
akan komoditi primernya
(Jhingan,M.L.1993, Arsyad, 1988).
Ide pokok dari model Hirschman
adalah bahwa efek polaritas disebabkan oleh
“effect
trickling down”, ekuivalen dengan efek penyebaran dari Myrdal. Effect
trickling down meliputi tujuan
komoditi North yang diproduksi di South dan gerakan
modal keselatan, disamping North
dapat menarik tenaga selatan yang cukup untuk
menjamin meningkatnya
produktivitas tenaga kerja marjinal dan tingkat konsomsi
perkapirta South. Hischman
bersikeras bahwa effect trickling down hanya bisa
terjadi bila di North membutuhkan
South untuk ekspansinya sendiri.
B. FRIEDMAN
John
Friedman, Weaver, (1979) menganalisa aspek tata ruang, lokasi serta
persoalan-persoalan kebijaksanaan
dan perencanaan pengembangan wilayah dalam
ruang lingkup yang lebih general.
Friedman telah menampilkan teori daerah inti.
Disekitar daerah inti terdapat
daerah-daerah pinggiran atau periphery region. Daerah
pinggiran ini sering disebut pula
daerah pedalaman atau daerah-daerah sekitanya.
Pembangunan dipandang sebagai
proses inovasi yang diskontinu tetapi
komulaitif yang berasal dari
sejumlah kecil pusat-pusat perubahan, yang terletak
pada titik-titik interaksi yang
mempunyai potensi tertinggi. Pembangunan inovatif
cenderung menyebar kebawah dan
keluar dar pusat-pusat tersebut kedaerah yang
mempunyai potensi interaksi yang
lebih rendah.
Pusat-pusat besar pada umumnya
berbentuk kota-kota besar, metropolis atau
megapolis, dikategorikan sebagai
daerah inti, dan daerah-daerah yang relatif statis
sisanya merupakan daerah
pinggiran. Wilayah pusat merupakan subsistem dari
kemajuan pembangunan yang
ditentukan oleh lembaga di daerah inti dalam arti
bahwa daerah pinggiran berada
dalam suatu hubungan ketergantungan yang
substansial. Daerah inti dan
wilayah pinggiran bersama-sama membentuk sistem
spatial yang lengkap (Indra
Catri, 1993, Murtomo, 1988).
Proses daerah inti
mengkonsolidasikan dominasinya terhadap daerah pinggiran
dilaksanakan melalui
pengaruh-pengaruh umpan balik pertumbuhan daerah inti, yang
terdiri dari pengaruh dominasi
(melemahnya ekonomi daerah pinggiran sebagai
akibat dari mengalirnya
sumberdaya alam, manusia dan modal ke wilayah inti),
pengaruh
informasi (peningkatan
dalam interaksi potensial untuk menunjang
pembangunan inovatif), pengaruh
psikilogis (penciptaan kondisi yang
menggairahkan untuk melajutkan
kegiatan-kegiatan inovatif secara lebih nyata),
pengaruh mata
rantai (kecenderungan
inovasi untuk menghasilkan inovasi
lainnya), dan pengaruh
produksi ( pencitaan sturtur balas jasa dan menarik untuk
kegiatan-kegiatan inovatif ).
Gunder Frank (1969; 1970) dalam
Keban (1995), membagi 4 tingkatan model
evolusi keruangan (evolusi
spasial), sebagai berikut :
7
1. Pre-industrial phase, dicirikan
oleh pusat kota tersebar pada areal yang luas,
tidak ada tingkatan kota.
Kemungkinan untuk tumbuh kecil, perekonomian tidak
berkembang. Friedman berasumsi
sistem dalam keadaan stabil sebab pusatnya
luas dan hanya bersifat lokal.
2. Pereode Incipient
industrialization, dicirikan oleh kota primate yang
mendominasi kawasan yang luas dan
menggali sumberdaya alam sekitarnya.
Perekonomian didaerah periphery
bergerak menuju kota primate berupa
pendatang, intektual dan tenaga
kerja. Friedman berpendapat pengelolaan ruang
tidak stabil, sebab sistem
digerakkan oleh kekuatan luar.
3. Transisional stade kearah
industri kota primate masih mendomisi kota yang
luas, pengembangan strategi
penetapan pusat kota atau pusat pertumbuhan
mengurangi pengaruh kota yang
luas, Friedman setuju bahwa tingkat ketiga
masih bersifar tidak stabil.
4. Fase kota dengan organisasi
keruangan yang sempurna, kota-kota yang
secara fungsional saling
tergantung. Seluruh ruang nasional terintegrasi
sedemikian rupa sehingga “tidak
adalagi periphery” yang terbelakang dan
belum berkembang.
Jadi menurut Friedman tingkat
urbanisasi sebagai indikator tingkatan kemajuan
suatau wilayah; makin maju
tingkat ekonomi suatu kota, semakin tinggi tingkatan
urbanisasi, sehingga makin
terintegrasi keruangan ekonomi keruangannya, dan
akhirnya makin berkurang
perbedaannya dalam pembangunan.
4. GEJALA PUSAT
DAN PINGGIRAN DI INDONESIA
Indonesia
dibagi dalam berbagai daerah tingkat I ( 30 Propinsi saat sekarang )
dan ratusan daerah tingkat II
menyadarkan bahwa betapa variasinya kondisi
wilayah Indonesia. Sebaran
penduduk yang tidak merata (sebagain besar
terkonsentrasi di Pulau Jawa),
sumberdaya alam yang tersebar, tingkat penguasaan
tehnologinya yang beragam, dapat
dibayangkan betapa sulitnya membuat kebijakan
pembangunan yang dapat memenuhi
selera setiap orang dan memuaskan semua
pihak. Oleh karena itu dalam GBHN
1998 sebagai pegangan seluruh bangsa
Indonesia untuk melaksanakan
Pembangunan Jangka Panjang kedua, berkenaan
dengan keadaan kondisi daerah
mengamanatkan sebagi berikut :
Pembangunan daerah sebagai bagian
integral pembangunan nasional telah
makin mendorong dan meningkatkan
stabilitas, pemerataan, pertumbuhan dan
pengembangan daerah serta peran
serta dan kesejahteraan masyarakat.
Peningkatan upaya pembangunan
daerah harus senantiasa didasarkan pada
otonomi yang nyata, dinamis,
serasi dan bertanggung jawab dalam rangka lebih
meningkatkan peranserta
masyarakat dalam pembangunan, dan mendorong
pemerataan pembangunan dan
hasil-hasilnya diseluruh tanah air.
Lebih lanjut dalam Pembangunan
Lima Tahun Keenam diamanatkan sebagai berikut:
Pembangunan daerah sebagai bagian
integral dari pembangunan nasional
diarahkan untuk lebih
mengembangkan dan menyerasikan laju pertumbuhan
8
antar daerah, antara daerah
perkotaan dan daerah perdesaan serta membukan
daerah terisolasi dan mempercepat
pembangunan Kawasan Timur Indonesia,
yangnpelaksanaannya disesuaikan
dengan prioritas derah serta melalui
pembangunan potensi daerah
seoptimal mungkin. Peran aktif masyarakat
dalam pembangunan perlu dikembangkan
melalui pelimpahan wewenang dan
tanggung jawab kepada daerah,
khususnya daerah otonom, dengan tetap
mengacu pada uapaya perwujudan
Wawasan Nusantara.
Dari uraian tersebut dapat
diketahui bahwa adanya kesadaran perbedaan antar daerah
seperti antara daerah perkotaan
dan perdesaan, daerah terpencil yang memerlukan
penanganan secara khusus karena
daerah-daerah tersebut mempunyai ciri tersendiri
layaknya daerah pusat dan daerah
pinggiran. Oleh sebab itu sejak tahun 1974, telah
menerapkan
konsep teori pembangunan dengan cara membagi-bagi Wilayah
Indonesia
menjadi Wilayah pembangunan utama yang mencakup Wilayah
pembangunan
ekonomi, yaitu
sebagai berikut :
Wilayah Pembangunan Utama A : Pusat
Utama, Medan
Wilayah Pembangunan Utama B : Pusat
Utama Jakarta
Wilayah Pembangunan Utama C : Pusat
Utama Surabaya
Wilayah Pembangunan Utama D Pusat Utama
Ujung Pandang (Makassar
sekarang)
Sejak Pelita IV Pusat Pembangunan utama
D dipecah menjadi 2 sehingga
muncul Wilayah Pembangunan Utama
E dengan Pusat Utama Ambon.
Masing-masing wilayah pembangunan
dipecah lagi menjadi sub-sub Wilayah
Pembangunan yang lebih kecil
untuk menjadikan kerja sama antar daerah lebih dapat
dikembangkan, hasilnya dapat
disaksikan sekarang kota-kota yang dijadikan sebagai
pusat utama pembangunan menjadi
berkembang sangat pesat dan menjadi inti dari
daerah-daerah sekitarnya. Ibarat
gula, kota-kota itu diserbu semut penduduk yang
ingin ikut menikmati manisnya
pembangunan. Seperti dijelaskan di depan bahwa
setiap wilayah pembangunan dibagi
lagi menjadi wilayah- wilayah pembangunan
yang lebih kecil. Sebagai
contohnya disajikan pembagian yang ada di Jawa Barat:
Wilayah pembangunan Jabotabek (
perbatasan dengan Jakarta, yakni
Tangerang ,Bogor dan Bekasi ) dan
sebagian daerah Sukabumi. Disitu ditampung
berbagai industri yang tak
tertampung diJakarta. Dengan demikian Indonesia secara
sadar sudah menggunakan konsep
pusat-pusat pertumbuhan atau pusat-pusat
pengembangan,namun tetap
memperhatikan daerah pinggiran (desa, terpencil ),
hanya yang perlu lebih
diperhatikan bahwa, dimasa yang akan datang perlu
mempercepat
pembangunan di daerah pheriphery, khususnya daerah perdesaan
maupun dalam
skala yang luas yaitu pembangunan di luar Pulau Jawa terutama
di Kawasan Timur
Indonesia.
5. Penutup
Dari
uraian tentang gejala pusat pinggiran mulai dari prespektif sejarah, sampai
dengan keberadaanya di negara
yang sedang berkembang, dan beberapa teori yang
disampaikan oleh para ahli,
dikaitkan dengan pelaksanaan pembangunan di
Indonesia maka dapat disimpulkan
sebagai berikut:
9
Daerah pusat dan pinggiran dapat tumbuh
karena berbagai alasan seperti
alasan Politis, Ekonomis dan
alami (geografis).
Keberadaan daerah pusat dan pinggiran
saling membutuhkan, karena
keduanya saling tergantung,
daerah pinggiran dapat berkembanng banyak
ditentukan oleh daerah pusat
melalui spread effect, dan pada akhirnya daerah
pinggiran suatu saat akan
berintegrasi dengan daerah pusat.
Indonesia secara sadar telah menerapkan
konsep pusat pinggiran, tetapi
dimasa lalu lebih banyak
mengutamakan pembangunan daerah pusat,
sehingga banyak terjadi
ketimpangan hasil pembangunan antara daerah pusat
dan pinggiran, seperti antara
kota dan desa maupun antara jawa dan luar jawa
lebih-lebuh untuk Kawasan Timur
Indonesia. Oleh sebab itu perlu meninjau
kembali kebijakan yang selama ini
dijalankan dan lebih banyak memberikan
kesempatan kepada daerah
pinggiran untuk menata diri dalam arti yang
seluas-luasnya.